Notification

×

Iklan

Iklan

MEMBACA TUBUH PERTUNJUKAN HIKAYAT DOTU DAN KEKUASAAN

Sabtu, 05 Desember 2020 | 12:08 WIB Last Updated 2020-12-05T04:08:35Z

                       Foto Ist : Barta1.Com


Oleh: Iverdixon Tinungki


MANADO KOMENTAR - Di atas pangung teater, tubuh bisa jadi sebuah alat ucap dalam mengungkap kehidupan. Bahkan senjata yang kerap terbidik ke arah politik kekuasaan. Namun dihadapan politik dan kekuasaan – sitir Kahlil Gibran-- rakyat adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh.


Hanung Prabowo, cukup menggelitik saya dengan ide pertunjukannya. Kamis, 3 Desember 2020. Waktu menunjukkan pukul 20.00 Wita. Ex ruang sidang Kantor DPRD Sulut yang terletak di Sario, Manado, telah tersulap jadi ruang pertunjukan “Hikayat Dotu dan Kekuasan” (HDDK).  Sebuah lakon ditulis Satria Yanuar Akbar. Ini pertama kali saya menonton pertunjukan  North Celebes Creative Lab asal Kota Bitung, Sulawesi Utara, disutradarai Hanung.


Seperti juga kehidupan itu sendiri, pertunjukkan teater selalu lahir dan mengalir dalam kepekaan. Sejak babak pertama dibuka, penonton langsung diberondong kolase-kolase teatrikal persoalan masyarakat, orientasi kehidupan politik dan kekuasaan dengan segala keburukan dan kerunyamannya.


Kendati tema politik, kekuasaan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial selalu seksi jadi isu sentral dalam sebuah lakon, namun dalam HDDK  isu-isu tersebut teranyam dalam metodologi teater pembebasan. Hal itulah paling menarik perhatian saya. Dalam pertunjukan ini, tubuh tak sekadar alat ekspresi juga telah dipakai menjadi  alat dialog.  Tubuh yang  mengungkap ide dan pesan. Tubuh yang menyatu dengan atmosfer cahaya, property dan hand property, lalu berubah menjadi gelombang semiotika.


Ini sebabnya, di satu sisi, saya hanyut dalam komposisi artistik yang terkonsep dan tergarap secara apik dan membentuk alur dramatiknya. Dan andaikata pertunjukan ini mengalir dalam minikata, simbol-simbol dalam perpindahan setiap kolase akan terasa lebih nampak jalinannya dan sublim. Di sisi yang satu, saya gerah dengan polusi kata yang membebani para aktor dengan dialog-dialog panjang yang kemudian terasa cerewet dan banal.


Dari sisi teks, HDDK termasuk lakon yang membutuhkan energy besar untuk menggarapnya. Dibutuhkan kepiawaian actor untuk menjembantani dan mengekspresikan dialog-dialog panjang yang deskriptif. Bahkan bisa jadi, HDDK lebih enak dinikmati dalam bentuk sastra, sebagaimana kita menikmati “Man and Supermen”: A Comedy and A Philosophy” (Manusia Adimanusia: Sebuah Komedi dan Sebuah Filsafat) Bernard Shaw, dari pada menontonnya di panggung.


Sebagai sutradara, saya melihat Hanung dihantui penjajahan teks atas drama. Dalam tempo yang sama, ia membangun struktur batin pertunjukan yang berbeda dari cengkeraman tekstual. Akibatnya, dalam dikotomi dua kekuatan yang saling menarik ini, apabila diandaikan pohon, yang nampak hanya cabang dan carang-carangnya. Selebihnya terbunuh dalam penindasan tekstual.


Namun sejatinya, tidak ada yang salah dengan teks yang cerewet. Karena tidak sedikit lakon kelas dunia ditulis dengan kecerewetan yang lebih gila dibanding HDDK. Persoalannya, pendekatan garapan dianut Hanung dalam pertunjukan ini sudah pasti distortif dengan pilihan teksnya. Sebagaimana metodologi teater pembebasan, pesan disampaikan lewat simbol-simbol berupa penanda dan petanda. Dalam HDDK saya melihat ada dua kekuatan saling merubuhkan. Dan sialnya, teks berada di pihak yang gugur dan menjelma menjadi polusi kata-kata.


Kembali pada kritik kekuasaan. Dotu dalam idiom Minahasa, memiliki kompleksitas representasi praktik kekuasaan yang sama bila kita membaca karya-karya klasik semisal Oedipus, Dionysus, King Lear, Hamlet, Machbet, Faust, Baal, Danton, Monserat, dan Caligula, atau karya-karya dramawan Indonesia N Riantiarno seperti Bom Waktu, Orang Kaya Baru, Suksesi, dan lain-lain.


Ide relasi kekuasaan hegemonik menjadi gagasan utama HDDK. Ada pertarungan kekuasaan dan kematian, pertarungan kekuasaan dan ketakutan yang amat terasa dalam memori kolektif masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. 


Di sini HDDK  membongkar kesadaran kelektif kaum bawah yang disimbolkan dalam laku tokoh Rinte, seorang petani Garam yang justru memiliki kesadaran yang utuh tentang nilai-nilai kemanusiaan. Dengan mengalaman antologisnya, sosok Rinte menjadi peluru dari mulut senapan yang deras menghujam relasi kekuasaan hegemonik. 


HDDK menawarkan Rinte sebagai prototype pahlawan kaum bawah meski serupa dengan gambaran William Shakespeare dalam Macbeth, 1606, yang melukiskan; -- Hidup adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh orang idiot—yang tak berarti apa-apa di mata kekuasaan. 


Sebagaimana esensinya, HDDK meresepsikan gagasan memuliakan sekaligus mengkritisi kehidupan. Dan hanya dengan mengambil resiko hidup, Rinte dapat mencapai kebebasan dan mengilhami pembebasan. Pada titik itu,  HDDK secara nyata mentransmisikan pesan  bahwa seseorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya, tidak akan mencapai hakekat kesadaran diri yang mandiri. (Sumber Barta1.Com)

×
Berita Terbaru Update