Notification

×

Iklan

Iklan

Korupsi Kian Merajalela, Indonesia Butuh Calon Alternatif, Nama Habibie Makin Seksi Dibicarakan

Jumat, 09 September 2022 | 23:56 WIB Last Updated 2022-09-09T15:58:39Z


MANADO KOMENTAR-SALAH satu faktor yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, disebabkan karena adanya kejenuhan terhadap calon-calon yang tampil berkompetisi pada pemilu.


Demikian salah satu rangkuman yang diangkat Pengamat Politik Universitas Samratulangi, Manado, DR. Ferry Daud Liando, pada diskusi publi k“Capres Alternatif, Mengapa Tidak?” yang digagas Komite Pemilih Indonesia (TePI) Sulawesi Utara, di Manado, Kamis (08/9).


Menurut Liando, berangkat dari hasil penelitiannya di tahun 2015, bahwa calon alternatif tidak hanya merujuk pada aktor politik akan tetapi merujuk juga pada institusi politik. Aktor dan partai politik, hanya berputar putar pada nama nama yang sama dan tidak mengarah pada perbaikan demokrasi.


“Korupsi makin merajalela, pelayanan publik makin buruk dan harga konsumsi makin mahal dan menyulitkan masyarakat,” ujar dia.


Lanjut menurutnya, bahwa calon presiden hanya bisa diusung oleh parpol. Sehingga, apapun alasannya, calon yang diusung parpol harus diterima masyarakat. 


Hal ini karena baik konstitusi maupun UU 7 tahun 2017, tidak memberikan ruang bagi publik untuk memunculkan calon alternatif, karena terganjal Parliamentary atau President Threshold.


“Undang undang tidak memberi jalur lain untuk mengusung calon presiden selain parpol. Kita tidak dimungkinkan untuk mengusung calon dari jalur independen seperti di Amerika,” tambahnya lagi.


Karena itu, Parpol harus selektif menyeleksi calon, karena banyak figur-figur yang sudah teruji, tidak korup, visioner, memiliki komitmen kebangsaan dan nasionalis, namun tidak diberi kesempatan oleh parpol untuk menjadi calon.


Ditempat yang sama, Koodinator TePI, Jeirry Sumampouw, sependapat dengan Liando. Menurutnya, nama nama yang mengemuka saat ini, sudah muncul 5 tahun lalu.


Sumampouw mempertanyakan, apakah dari 200an juta penduduk Indonesia, tidak lagi memiliki calon lain?


“Calon alternatif perlu untuk meningkatkan gairah publik. Selama ini, pemilih terjebak dalam serangan pencitraan yang dilakukan Parpol diberbagai platform sosial media,”ungkap Sumampouw.


Apalagi menurut poengamatannya, beberapa calon yang muncul belakangan ini, tidak satupun yang serius menanggapi kenaikan harga BBM.


Sehingga, tidak heran jika pertanyaan salah satu lembaga survey tentang calon calon yang ada, dapat menyelesaikan persoalan bangsa, jawabannya, 50% tidak yakin.


“Hal ini pertanda bahwa masyarakat inginkan figur baru. Karena itu, kembalikan Pemilu pada hakikat sebenanrnya, yakni perang gagasan.” Tambah Sumampouw lagi.


Sementara, Jerry Massie, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) memberikan beberapa kriteria terhadap calon alternative. Menurutnya, pemimpin kedepan harus cerdas, visioner, bukan dreamer dan out of box.


“Calon alternatif juga, harus cerdas dalam merespons persoalan persoalan kebangsaan, bukan pemimpi, namun bertindak dan mengimplementasikan berbagai program dalam kerjanyata,”katanya.


Sejumlah nama mencuat dalam diskusi yang dihelat di Café De’Kersen ini, sebagai figur alternatif  yang dapat dipertimbangkan sebagai calon Presiden maupun Wakil Presiden pada Pemilu 2024 nanti.


Mantan ketua MK, Prof Jimly Asshiddigie, Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, Rizal Ramly, Mendagri Tito Karnavian.


Satu nama yang mencuat diakhir diskusi, adalah Cendekiawan Ilham Habibie, pengusaha yang juga pakar dibidang Tekhnologi. Jeirry Sumampouw, memberikan catatan khusus terkait nama terakhir ini.


“Ïlham dapat ditawarkan sebagai figure alternatif, karena memiliki kapasitas dan kemampuan. Hanya saja selama ini, kiprah Ilham belum maksimal terpublikasikan.”


Selain itu, Sumampouw berharap, agar figur ini dapat melepaskan diri dari bayang bayang Presiden ketiga RI, BJ. Habibie sebagai orangtuanya. Karena menurutnya, hal itu akan memberikan kesan politik dinasti.***


Ferry Daud Liando menjadi narasumber dalam Diskusi Publik bertajuk “Capres Alternatif, Mengapa Tidak?” yang diadakan di Charity Cafe, Kleak, Kecamatan Malalayang, Manado. Kamis (8/9/2022).


Liando yang berbicara sebagai Pengamat Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini menyampaikan bahwa salah satu cara untuk mencegah terjadinya golput pada Pilpres 2024 adalah memerlukan calon alternatif sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024.


Liando pun menyinggung terkait hasil penelitian yang pernah dilakukannya di tahun 2015 dimana dirinya menemukan bahwa “faktor-faktor yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, salah satunya disebabkan karena kejenuhan pemilih terhadap calon-calon yang tampil berkompetisi pada pemilu,” tuturnya.


Adapun Pembina Pusat Studi Kepemiluan Fispol Unsrat ini menyatakan bahwa calon alternatif tidak hanya merujuk pada aktor politik akan tetapi merujuk juga pada institusi politik.


“Kejenuhan pemilih disebabkan pula karena partai politik peserta pemilu hanya berganti-ganti pada 2 atau 3 parpol itu-itu saja. Apalagi performa parpol-parpol itu tidak mengarah pada perbaikan demokrasi,” kritiknya.


“Korupsi makin merajalela, pelayanan publik makin buruk dan harga konsumsi makin mahal dan menyulitkan masyarakat,” imbuhnya.


Ia juga menambahkan, “hanya saja, baik konstitusi maupun UU 7 tahun 2017 tidak memberikan ruang bagi publik untuk memunculkan calon alternatif,” jelasnya.


Ia melanjutkan, bahwa calon presiden hanya bisa diusung oleh parpol. Jadi suka atau tidak suka, siapa calon yang diusung parpol harus diterima masyarakat.


Adapun Liando mengatakan parpol yang bisa mengusung calon hanyalah parpol yang memiliki kursi sebanyak 20 persen dari hasil Pemilu 2024.


“Parpol yang bisa mengusung calon hanyalah parpol yang memiliki kursi sebanyak 20 persen hasil Pemilu 2024. Jika angka itu tidak cukup, maka suatu parpol bisa bergabung dengan parpol lain,” ungkapnya.


Liando menjelaskan, UU tidak memberi jalur lain untuk mengusung calon presiden selain parpol. “Kita tidak dimungkinkan untuk mengusung calon dari jalur independen seperti di USA,” imbuhnya.


Maka menurutnya, untuk mencegah desakan calon alternatif itu sangat tergantung pada peran parpol. Parpol harus selektif menyeleksi calon.


“Banyak figur-figur yang sudah teruji, tidak korup, visioner dan nasionalis tapi tidak diberi ruang oleh parpol untuk menjadi calon,” ucap Dosen Fispol Unsrat yang akrab disapa Mner Ferry itu.


Ia juga menyoroti bahwa parpol kerap terjebak pada hasil survei dan pemodal, padahal hasil survei bukan menjadi tolok ukur kepantasan calon.


“Parpol juga kerap hanya terjebak pada hasil-hasil survey dan pemodal. Padahal hasil survey hanya sebatas mengukur popularitas, bukan mengukur kinerja, kejujuran dan visi,” tandasnya.


Adapun yang menjadi pemateri lainnya yaitu Jerry Massie selaku Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jeirry Sumampow selaku Koordinator Komite Pemilih Indonesia serta Jerry Wuisang selaku Koordinator TePI Sulawesi Utara.


×
Berita Terbaru Update