Notification

×

Iklan

Iklan

Ketua PGI: Vonis Mati Sambo Keputusan Berlebihan, IPW: Kejatahan Sambo Tidak Layak Dihukum Mati

Rabu, 15 Februari 2023 | 08:20 WIB Last Updated 2023-02-15T00:24:36Z

foto detikcom
JAKARTA KOMENTAR-Ketua Umum (Ketum) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom turut angkat bicara terkait vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo.


Pdt Gomar Gultom menghargai proses peradilan yang berlangsung. Dia memahami perlunya hukuman yang berat atas Ferdy Sambo atas pembunuhan berencana dan tindakan perintangan proses hukum yang dilakukannya. 


"Namun hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan," kata Pdt Gomar Gultom, seperti dalam keterangan tertulisnya sebagaimana dikutib dari Netralnews, Selasa (14/2/2023).


Menurutnya, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Hanya Tuhan yang diklaim memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.


"Penegakan hukum oleh negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut," jelas dia.


Segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan. 


Pdt Gomar Gultom mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka mestinya kita tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. 


Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 


"Hukuman mati itu juga mengesankan lebih merupakan “pembalasan dendam” oleh negara, atau bahkan frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada terhukum," jelas Pdt Gomar Gulton.


Pdt Gomar Gultom meragukan pendapat sementara pihak yang menganggap hukuman mati akan memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Terbukti kasus narkoba terus meningkat meski negara telah mengeksekusi mati beberapa pelaku tindak pidana narkoba.


foto detikcom

Sementara itu Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengatakan,  Hakim Wahyu Imam Santoso telah meletakkan potensi problem baru pada Polri terkait putusannya hukuman mati bagi Sambo. 


Sambo kata dia kecewa dengan putusan itu dan akan banding dan akan berjuang sampai kasasi atau PK," kata Sugeng dalam keterangan tertulis yang juga dilansir dari Netralnews, Senin (13/2/2023). ). 


Sugeng menilai putusan majelis hakim tidak memasukkan hal-hal yang meringankan Ferdy Sambo sebagai pelaku. Padahal, lanjutnya, fakta tersebut ada, seperti Sambo berlaku sopan di pengadilan, belum pernah dihukum, serta memiliki pengabdian dan prestasi selama menjabat Kadiv Propam Polri. 


"Sambo masih akan berpotensi mendapat putusan lebih rendah pada tahap selanjutnya karena hal yang meringankan tidak dipertimbangkan sama sekali," ujar Sugeng. 


Di sisi lain, Sugeng menilai perbuatan Ferdy Sambo tidak layak untuk dijatuhi hukuman mati. Pasalnya, ia berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan Sambo bukanlah kejahatan yang sadisme. 


"IPW melihat kejahatan Sambo tidak layak untuk dihukum mati karena kejahatan tersebut memang akan kejam tetapi tidak sadis bahkan muncul karena lepas kendali," ujar Sugeng. 


"Motif cemburu atau marah karena alasan apapun yang diwujudkan dengan tindakan jahat yang tidak menimbulkan siksaan lama sebelum kematian bukan kejahatan sadisme," jelasnya. 


Lebih lanjut, Sugeng berpendapat bahwa hakim menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo karena tekanan publik. 


“Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tidak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut,” pungkasnya. 


Sebelumnya, Majelis Hakim PN Jaksel menjatuhkan vonis pidana mati terhadap Ferdy Sambo. Hakim menyatakan Sambo terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.


Ferdy Sambo juga terbukti melakukan  obstruksi keadilan  atau perintangan penyelidikan pembunuhan Brigadir J.


"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara bersama-sama." 


"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023). 



Ferdy Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP ayat juncto Pasal 55 1 ke-1 KUHP. Sambo juga memutuskan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.



Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan Ferdy Sambo.



Untuk hal-hal yang memberatkan, hakim menyebut perbuatan Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri, serta mengakibatkan duka yang mendalam bagi keluarga Brigadir J. 



"Perbuatan hukuman dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi kepadanya kurang lebih selama 3 tahun," ucap Hakim Wahyu. 



"Perbuatan penderitaan telah mengakibatkan duka yang mendalam bagi keluarga Nofriansyah Yosua Hutabarat," sambungnya. 



Perbuatan Ferdy Sambo juga disebut telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat. 



Hakim pun menyatakan bahwa apa yang dilakukan Ferdy Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia. 



“Perbuatan perlindungan tidak sepantasnya dilakukan dalam kedudukannya aparat penegak hukum dan pejabat utama Polri yaitu Kadiv Propam Polri.” 



“Perbuatan penipuan telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional,” tegas Hakim Wahyu. 



Selain itu, Hakim Wahyu mengatakan perbuatan Ferdy Sambo telah menyebabkan banyaknya anggota Polri lainnya yang ikut terlibat.



"Terdakwa berbelit-belit memberikan keterangan di perizinan dan tidak mengakui perbuatannya," beber Hakim Wahyu. 



Sementara untuk hal yang meringankan, Hakim Wahyu menyatakan "Tidak ditemukan adanya pengurangan hal yang meringankan dalam hal ini."



Adapun vonis mati terhadap Ferdy Sambo lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, jaksa menuntut Sambo dipidana penjara seumur hidup.



Pernyataan selanjutnya datang dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI),  menyatakan tetap konsisten menolak hukuman mati meskipun terkait kasus Ferdy Sambo. PBHI beralasan pidana mati merenggut hak atas hidup manusia.


“Sikap PBHI ini tanpa mengurangi bagaimana majelis hakim merumuskan pasal-pasal itu secara mendetail. Itu kami mengapresiasi dan keluarga mengapresiasi atas pemenuhan keadilan keluarga,” kata Julius Ibrani, Ketua PBHI Nasional pada Obrolan Malam Fristian bertema “Vonis Mati Sambo Hanya Prank?” di BTV pada Selasa (14/2/2023), seperti dilansir dari beritasatu.com



Mengutip Kemenkumham, pasal 100 (1) KUHP disebutkan hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun jika :

a, terdakwa menunjukan rasan menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki

b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting

c. ada alasan yang meringankan.


Julius mengakui dalam pasal 100 KUHP di ayat 1tidak ada kata “dapat”, namun pada ayat 4 masih ada kata “dapat”. Hal itu kata “dapat” itu membuka peluang apakah bisa dikonversi dan tidak imperatif, serta ada birokrasi lanjut.


“Yang kedua adalah kalau dalam rumusan KUHP yang baru ini harus memuat dua hal secara alternatif yakni rasa penyesalan dan keinginan memperbaiki diri. Soal peran terdakwa sudah tuntas dikuliti oleh majelis hakim. Tapi istilah memperbaiki diri ini yang perlu dilanjutkan pada ayat ke 4 yang pastinya kemenkumham dan dikoordinasikan kejaksaan dan pertimbangan MA,” tambahnya.


Menjadi penting, kata Julius, kalau penilaian itu dilakukan secara absolut oleh Kemenkumham lalu diserahkan secara sepihak. Kalau alurnya satu garis saja dan tentu menimbulkan absolutisme dalam pemeriksaan assessment, hal ini juga artinya menutup ruang bagi publik.


 “Apakah jaksanya terlibat dalam assessment, apakah MA-nya terlibat dalam assessment, sehingga menutup ruang korupsi birokrasi sebagaimana yang dikhawatirkan. Tidak dilakukan secara berjenjang tapi dilakukan dalam waktu yang sama, oleh multipihak. Di situlah fungsi pengawasan terjadi,” paparnya.


Julius berpendapat kasus Brigadir Yoshua membuka tabir paling besar dalam sistem penegakan hukum kita, yakni minimnya pengawasaan dalam skema penegakan hukum di Indonesia.









×
Berita Terbaru Update