Notification

×

Iklan

Iklan

BELAJAR MANDIRI ANTARA PEDAGOGI DAN HEUTAGOGI

Selasa, 01 September 2020 | 07:52 WIB Last Updated 2020-09-20T13:00:26Z
Foto Ist : WordPress.Com 

MANADO KOMENTAR -  Konsep 'belajar mandiri' yang belakangan mengisi benak publik pendidikan nasional (diknas) jangan dipelesetkan ke kerangkeng heutagogi. Itu sesungguhnya tetap berada dalam bingkai pedagogi.

Maka, orang boleh saja repot-repot membuat modul, entah setebal tembok China, atau setipis gendang telinga. Tapi semua itu tidak boleh menggeser fungsi dan peran guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, dan pelatih.

Jauh sebelum masa pandemi covid-19, sistem penyelenggaraan diknas sudah mencanangkan konsep "belajar mandiri" bagi pelajar atau, barangkali lebih tepat, pembelajar. Kendati demikian, konsep 'belajar mandiri' tersebut tidak pernah dikeluarkan dari paradigma pedagogi, sebagai model-pendekatan pendidikan yang mengedepankan fungsi dan peran orang dewasa (guru) bagi pendewasaan atau pemandirian anak (peserta didik).

Bila dipikir-pikir, pada masa darurat pandemik sekarang, penyelenggaraan diknas bisa sajalah mengadopsi model heutagogi. Ini khususnya bagi pembelajar di kelas terakhir jenjang sekolah menengah. Hanya saja, ini terbentur oleh berbagai faktor. Misalnya, faktor ketiadaan regulasi yang mengatur tupoksi guru. Misal yang lain, ialah faktor mentalitas masyarakat bangsa kita yang masih terpaut pada akar-tradisi pedagogi.

Alhasil, bagi guru, hal terpenting yang harus dilakukan sekarang adalah mempersiapkan dan melakoni skenario pendidikan/pembelajaran yang relevan dengan sikon pandemik, dengan tetap bertumpu pada asas-asas dan norma-norma pedagogi yang mengedepankan peran strategis guru dalam rangka pencapaian tujuan diknas.

Heutagogy adalah istilah yang diciptakan oleh Stewart Hase dan Chris Kenyon dari Southern Cross University di Australia, dan juga disebut pembelajaran yang ditentukan oleh diri sendiri (self-determined learning).

Prinsip dasar dari pendekatan heutagogy adalah bahwa seorang pelajar/pembelajar (learner) harus menjadi pusat pembelajaran bagi dirinya sendiri, dan oleh karena itu, bahwa ‘pembelajaran (learning)’ tidak harus dilihat sebagai ‘harus’ tergantung pada guru/dosen, kurikulum, fasiltas, dan faktor-faktor lain di luar si pembelajar itu sendiri.

Sejak teori ini pertama kali diluncurkan pada tahun 2000, pendekatan ini telah diterima sebagai pendekatan yang sangat cocok dalam lingkungan e-learning.

Kemudian setelah tahun 2010, pendekatan ini mulai dipopulerkan ke dalam lingkungan pendidikan umum, sebagai sesuatu motivator yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa/mahasiswa.

Tentu saja agar heutagogy ini dapat berlangsung secara efektif, maka beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:

1..Mengetahui bagaimana belajar harus merupakan keterampilan utama bagi pembelajar (learner).

2. Harus menciptakan dunia belajar yang menyenangkan.

3. Menghindari dominasi guru/dosen yang menciptakan pembelajaran yang berfokus pada guru/dosen itu.
Guru/Dosen berfokus pada proses pembelajaran bukan sekedar berfokus pada materi pembelajaran berdasarkan kurikulum.

4. Pembelajar (siswa/mahasiswa) memilih topik-topik berdasarkan pilihan sendiri serta bertanggung jawab sendiri untuk menguasai topik-topik pembelajaran itu.

5. Pembelajar (siswa/mahasiswa) mempelajari hal-hal melampaui disiplinnya.

6. Pembelajaran ditentukan oleh diri sendiri sesuai dengan semua poin di atas.

(Vincent Gasperzs)

Dalam desain formal schooling tetap saja self determined learning  (SDL)mempunyai framing yaitu kurikulum. Self determined learning hanya diberi ruang determinasi yg berbeda. Mungkin di situlah keragaman sikon menentukan keragaman pilihan. Tetapi tetap saja SDL itu memerlukan pendampingan utk memastikan rangkaian pilihan tetap memenuhi standar isi, standar proses, dan standar kompetensi lulusan yg ditentukan dl kurikulum. (Alpin)

Sumber : Sovian Lawendatu, Prof. Max Gustaaf Ruindungan.
×
Berita Terbaru Update