Notification

×

Iklan

Iklan

PERANG AGITASI DAN POLARISASI OPINI PUBLIK DAN POLITIK PECAH BELAH

Senin, 31 Agustus 2020 | 13:16 WIB Last Updated 2020-08-31T05:21:19Z

MANADO KOMENTAR - Sengitnya konstruksi isu dan perang agitasi dalam pusaran kompetisi politik praktis kerap kali memancing rasa penasaran akar rumput sekaligus bisa membelah akar rumput dalam faksi-faksi dukungan politik yang beragam. Perang agitasi ini kerap di mainkan bagaikan memainkan bidak-bidak catur di atas papan catur. Gelindingan isu dan agitasi dari yang bersifat edukatif, agitatif hingga yang provokatif pun di mainkan (baik secara frontal maupun terselubung).

Para bidak-bidak elit berdiri di garis belakang bukan sebagai penonton tapi sebagai pengamat yang sigap. Menggerakan bidak-bidak pion di garis paling depan dalam rangka mengeksekusi kepentingan dengan menggerakan semua tentakel kekuasaan politik dri tingkat akar rumput hingga ke tingkat elit. Realitas ini akan membuat publik yang awam cukup abstrak menilai realitas konstalasi politik secara rasional dan obyektif. Tidak heran jika memicu persepsi publik yang heterogen dan subyektif dan bermuara pada gaduhnya ruang demokrasi karena konflik opini horizontal.

Menyadari akan "battle ground" dalam realitas politik praktis di atas, maka kita perlu sadar jika politik hanya di pakai sebagai "senjata untuk berkuasa" tapi tdk melihat politik sebagai "jalan membangun", maka secara tragis politik yang harusnya luhur untuk membangun sesama malah menampilkan wajah yang brutal. Politik yang kehilangan hati nurani hanya akan menjelmakan manusia bukan lagi "homo socious" yang sosial tapi menjadi "homo homini lupus" yang beringas dan kanibal terhadap sesama.

Skarang so jadi Homo homini Virus. Manusia adalah virus bagi sesama.
Memang cukup ironis, tapi seiring laju modernisasi kian mutakhir dan inovatif malah moral manusia kembali ke zaman batu yang primitif.

Meneropong ke Eropa, inggris juga kian kehilangan daya magisnya, james bond termakan usia. Negara yang menganut system Monarkhi sedang krisis kepemimpinan, italia dan perancis sedang lesu, yang punya style malah beberapa Negara skandinavia, Jerman dan Rusia diam diam juga masih eksis, Turki kembali dengan style yang lebih moderat, Kawasan eropa agak banyak tertolong lewat Sajian liga sepakbola.

Menjadi pekerjaan rumah bagi para pemikir pejuang untuk tidak menyerah dalam mengedukasi para akar rumput tentang bahaya laten "Politik Pecah Belah, yang memasung nilai-nilai politik yang luhur.

Sampai kapan mental kita bertahan seperti ini, terus terbawaarus. Kapan kita mempunyai style sendiri. Jepang dan korea sudah dengan style teknologinya, china dengan style copy pastenya yang ternyata manjur, dibelakangnya ada India dan Malaysia, singapura dengan style bisnisnya. Hanya Negara di kawasan teluk yang sedang diobrak abrik hingga pudar stylenya,tersisa , Abu dhabi yang memang “disetting” giginya Kita punya peluang dan itu sangat cerah di tengah kelimpungannya raksasa raksasa yang ternyata mulai kehilangan style.

Sejarah mencatat, bahwa pemegang kendali politik Indonesia masih di pegang oleh elit politik yang memiliki modal atau setidaknya politisi hari ini memiliki akses kepada para pemodal sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan, dan mayoritas elit tidak bisa di pungkiri masih di pegang oleh kaum tua. Kaum muda meskipun memiliki harapan perubahan Indonesia yang lebih baik, tapi selama kendalinya dibawah elit kaum tua, perubahan itu hanya sebatas efouria masa muda.

Coba kita hitung seberapa banyak kaum muda berkiprah dalam kancah politik? Kalaupun ada kaum muda, itu adalah titipan ataupun titisan dari dinasti politik yang di bangun karena ada sangkut paut dengan garis keturunan, kalo dulu primordial hanya sebatas kedaerahan. Sekarang nampak lebih kecil kepada garis keturunan. Namun dibalik semua itu saya tidak pesimis bahwa akan bangkit seorang pemimpin yang lahir dari gaya kepemimpin yang berkepribadian dan berkebudayaan Indonesia.

Bukan karena pemimpin yang lahir dari rahim Feodalisme, melainkan lahir dan di kandung dari ideologi Pancasila.

Pancasila yang disarikan para pendiri bangsa kini sebatas sejarah yang dihapal saat sekolah. Pancasila masih belum mampu ditumbuhkan dan mengakar ke setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Derasnya arus globalisasi yang membawa hama kapitalisme menjadi salah satu sebabnya.

Karena pemimpin tidak berhasil membendung arus tersebut, maka bangsa ini gagal melakukan lompatan ideologi dan lompatan tembok feodalisme yang jadi penghalang perwujudan nilai-nilai dan cita-cita Pancasila sebagai ideologi.

Untuk mendidik kasus pelanggaran hukum ada konsekuensi pidana/perdata yang sudah di atur dalam undang-undang. Tapi jika membahas realitas demokrasi kita yang sudah pada stadium kronis, itu bukan lagi sebatas kasus tapi telah mengkristal menjadi kultur yang sudah sistemik dari tingkat akar rumput sampe ke tingkat elit.

Kian parah ketika mayoritas ekonomi rakyat masih tersandera dengan ketidak adilan sosial ekonomi di tingkat akar rumput. Politik akan selalu gaduh sampai kapan pun karena sudah bercampur menjadi arena sabung yang brutal karena menjadi ladang mengais sesuap nasi.

Belum lagi syahwat para elit yang kerap kali lebih orientasi untuk melestarikan kekuasannya yang langgeng. Daripada memanfaatkan kekuasaannya secara maksimal untuk menyentuh hajat hidup orang banyak.

Kultur yang sudah pada stadium kronis sulit di sembuhkan hanya dengan konsekuensi, kita perlu melakukan terapi jangka panjang. Dan itu di awali dengan langkah revolusi mental yang sistimatis, strategis dan kontekstual menyentuh realitas secara tepat sasaran.

Bukan lagi hanya sebatas eksploitasi retorika, slogan dan jargon.

Figur sentral yang akan menjadi jarum penetrasi revolusi mental harus di telorkan. Dan mereka tidak lahir secara instan dari rahim kolusi, nepotisme dan korupsi. Figur sentral dengan kualitas seperti ini harus lebih banyak di kloning melalui inkubator pengkaderan yang secara matang membuat mereka cakap dari kemampuan diplomasi dan kepeloporan inovasi.

Para figur sentral ini adalah mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Sehingga kelak ketika duduk di atas kursi kekuasaan akan lebih memikiran kepentingan publik di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Dan upaya menelorkan "para" figur sentral di atas mutlak jadi beban bersama dan terhindari dari persepsi dan stigma tendensius menciptkan blok-blok atas nama identitas apapun. Persepsi dan stigma tendensius hanya akan menciptakan sekat ekslusifitas yang akan menyulitkan merangkul solidaritas.

Spirit solidaritas dalam pluralitas inilah yang membuat Indonesia dulu kala sanggup keluar dari kuk kolonialisme. Bagaimana dengan sekarang?

Kolonialisme yang kita hadapi sekarang berbeda dengan kolonialisme di masa lalu. Dulunya, kolonialisme berkulit asing tapi hari ini kolonialisme berkulit pribumi, sesama anak bangsa saling jajah. Sekalipun dalam realitas perang global modern, potensi dan ekspansi asing untuk mendominasi internal negara mengintai setiap saat.

Kita harus berani keluar secara bersama-sama dan bahu-membahu dari kerangkeng kolonialisme ini. Dan dengan semangat gotong royong kita bahu membahu saling menopang hingga berdikari secara budaya, ekonomi dan politik.

Sumber : Matcon Sulut, Che Zenith, Albert Piterhein Nalang.
×
Berita Terbaru Update