Notification

×

Iklan

Iklan

DEMOKRASI MENJADI CANDU DAN RACUN PERADABAN

Senin, 07 Desember 2020 | 18:41 WIB Last Updated 2020-12-07T10:41:51Z


 


Oleh: Bung Amas




MANADO KOMENTAR - Demokrasi akan menjadi berantakan, bau busuk, jika tidak terkelola dengan baik. Manakala elemen rakyat tidak memperhatikan adab demokrasi, sudah pasti dalam prakteknya demokrasi menjadi rusak. Bahkan berubah seperti air kakus (air hitam) dan sampah domestik lainnya. Demokrasi seperti berubah menjadi candu masyarakat.


Jika demokrasi sudah seperti limbah, sampah, dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang baunya membuat pinan masyarakat, berarti terancamlah kedaulatan masyarakat. Sudah pasti demokrasi idam-idamkan ini terlampau maskulin. Sehingga mengabaikan nilai-nilai feminim. Bersifat terlampau monopoli, berat sebelah dan mengakibatkan roda demokrasi tidak berjalan seimbang.


Padahal demokrasi kita menampilkan harmonisasi. Menyediakan porsi yang representatif antara peran feminisme dan maskulinitas. Dimana kesetaraan gender menjadi tema yang diperhatikan dalam demokrasi kita. Demokrasi Indonesia bukan menampilkan menampilkan dan menampilkan tentang peran laki-laki sendiri-sendiri. Melainkan memberi tempat istimewa bagi perempuan yang diidentikkan dengan sifat feminim.



Dimana feminim lebih identik dengan kelembutan. Sedang sifat demokrasi yang maskulin cenderung menampilkan sisi perkasa yang dekat dengan peran laki-laki. Peran di ruang publik, seolah dialamatkan pada laki-laki, lalu demokrasi dituduh seolah-olah tidak mengakomodir kepentingan kaum perempuan yang feminim. Ternyata tidak demikian adanya.


Sebab demokrasi merupakan perpaduan dari sifat feminim dan maskulin. Demokrasi kita memiliki dua wajah yang sempurna. Tidak bisa didikotomikan antara sisi feminimnya dan feminisnya. Keduanya harus dipakai, sesuai konteksnya masing-masing. Kesempurnaan demokrasi itu dibangun atas nilai-nilai kelembutan dan keperkasaan. Demokrasi kita merupakan refleksi dari miniatur sifat manusia.


Terjadi gangguan yang disebabkan karena kepentingan masyarakat serta keadilan diabaikan. Peran gender masih saja diributkan. Demokrasi dipersempit hanya pada kebutuhan dan kepentingan laki-laki dalam peran publik. Ini merupakan kesesatan berfikir, tidak seperti itu seyogyanya. Dilain sisi, demokrasi juga bukan museum, apalagi TPA (Tempat Pembuangan Akhir).


Untuk menyimpan barang-barang antik bersejarah. Masyarakat harus pergi ke museum, bukan memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan tersebut. Begitu juga dengan kepentingan masyarakat membuang sampah atau buang air besar, jangan demokrasi dijadikan tempatnya membuang semua bentuk kotoran. Bagaimanapun demokrasi selalu relevan, menjadi jembatan sejarah. Menjadi alat penyatu bagi kepemimpinan.



Ketika energi positif dari demokrasi digarap sesuai marwahnya, maka demokrasi kita akan melahirkan kepemimpinan yang ideal. Pemimpin yang benar-benar diharapkan, menjadi idola semua komponen masyarakat. Bukan saja pemimpin yang berdiri diatas kebutuhan satu dua golongan. Mesin demokrasi harus dihidupkan terus, agar dapat mendeteksi mereka oknum-oknum yang sering menyalahgunakan demokrasi untuk kepentingannya sendiri. Jangan lagi demokrasi seperti disabotase para pembajak (perompak).



Tindakan perusakan demokrasi secara berencana akan membahayakan mereka yang merusaknya. Begitu pula dengan masyarakat umumnya, juga akan terkena dampaknya. Langkah menyelamatkan dari cara-cara jahat tersebut adalah keseimbangan atau harmonisasi dalam derap langkah demokrasi harus terus dibangun. Jangan biarkan nalar demokrasi hanya dimonopoli sifat feminis, atau sebaliknya demokrasi didominasi sifat maskulin.



Akhir-akhir ini demokrasi kita sudah seperti candu. Dimana hidangannya pada masyarakat di saat Pilkada Serentak 2020 menampilkan sisi kapitalisnya. Masyarakat sebagai konstituen digerogoti, dibujuk dengan cara politik uang. Solidaritas masyarakat dihalau dengan adanya politik identitas. Sehingga jadinya, masyarakat terpolarisasi. Persatuan tidak lagi menjadi magnet, malah yang terjadi perpecahan hanya karena politik.



Melainkan demokrasi sebagai satu-satunya instrumen yang kita akui dapat memajukan peradaban kita di Indonesia. Demokrasi merupakan jalan damai. Jalan mengarahkan rakyat Indonesia dari jebakan, racun dan bius yang membuat masyarakat hilang masa kerja. Disinilah demokrasi menjadi krusial, begitu dibutuhkan. Karena politik sebagai bagian dari demokrasi, harus saling terkait dan saling menopang. Demokrasi dapat dikendalikan dengan cara-cara berpolitik yang benar.



Bukan politik dijadikan alat penjegal demokrasi. Tidak seperti itu. Selain itu, demokrasi juga bukan candu yang mematikan para penganutnya sendiri. Idealnya demokrasi terus menghidupkan nafas segar yang membicarakan persatuan, keadilan dan persamaan. Bukan menebar ancaman atau merusak. Bukan begitu rute demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi menawarkan ketenangan, kesejukan dan kenyamanan masyarakat.


Jika demokrasi telah menjadi candu dan racun peradaban, berarti demokrasi telah dikendalikan kapitalis. Masyarakat yang pendapatan ekonominya di bawah rata-rata dijadikan budak bagi geng kapitalis atau pemilik modal. Dengan kuas anggaran yang besar, masyarakat awam dapat dibayar kapitalis untuk mengarahkan pilihannya. Masyarakat sipil yang hidupnya-biasa saja, diposisikan sebagai masyarakat kelas kedua dalam pertempuran politik.



Inilah yang kita khawatirkan. Jangan sampai hal itu terjadi. Sebab, itu berpotensi demokrasi dikendalikan sepihak oleh kaum berduit yang arogan dan jahat. Masyarakat harus menjadi pengendali, panglima bagi dirinya sendiri dalam menentukan hak pilihnya di Pilkada atau tiap suksesi demokrasi. Bukan dengan uang yang menjadi candu, membuat masyarakat tertindas dan dibohongi.



Jangan karena pemberian uang, hak-hak politik masyarakat dimanfaatkan kaum kapitalis. Masyarakat punya kemandirian memilih pemimpinnya. Jangan didikte atau diatur kaum berduit. Biarkan kedaulatan memilih, kemerdekaan berdemokrasi dipraktekkan masyarakat secara leluasa. (Sumber Kompasiana.com)


Penulis : Bung Amas

×
Berita Terbaru Update