Notification

×

Iklan

Iklan

Bhineka Tunggal Ika Menghadapi Kehancuran

Jumat, 04 September 2020 | 21:44 WIB Last Updated 2020-09-04T16:57:03Z

Oleh: Otto Cornelis Kaligis
(Penghuni Blok Bara Atas Lapas Sukamiskin, Bandung)


Hari ini saya kebetulan membaca sejarah Perjuangan  Pahlawan Nasional Haji Agus Salim. Cendekiawan, diplomat, pejuang kemerdekaan, yang mahir tujuh bahasa, asal Minangkabau.

Di era perjuangan Indonesia H. Agus Salim mempunyai seorang saudara kandung bernama Chalid Salim, seorang  penganut paham komunis yang dibuang Belanda ke Digul, karena dianggap Belanda membahayakan Pemerintah Kolonial Belanda. Pembuangan Chalid Salim ke Digul terjadi pada tahun 1928.

Saya membaca Memoir 15 tahun di Digul mengenai kehidupan Chalid Salim. Dalam masa Penahanannya selama di Digul, akhirnya Chalid meninggalkan Paham Komunis dan setelah mendalami agama Katolik, Chalid dipermandikan pada tanggal 26-12-1942 oleh Pastor Mauwese, dengan nama permandian Ignatius Fransiscus Michael Chalid Salim.

Reaksi H. Agus Salim. Sebagai seorang Minang yang  mayoritas beragama Islam, tentu rekan rekan H. Agus Salim mempertanyakan kepada beliau, tanggapannya atas peristiwa pembatisan ini .

” God zij dank, Alhamdulilah. Sekarang Chalid telah mengenal Tuhan, ” jawab H. Agus Salim.

Ini (beragama) yang membuat saya lebih dekat dengan dia. Keluarga di Minangpun merestui. Tidak seorangpun yang mengucilkan Chalid, dengan sebutan kafir. Bahkan ketika Chalid telah bebas dan berdiam di  Belanda, H.Agus Salim ketika bertemu dengan Chalid kembali menyatakan kegembiraannya karena adiknya telah mengenal Tuhan, dan kata beliau: “Pilihanmu sudah menjadi Takdir Ilahi”.

Bukti betapa sejak dahulu Pluralisme agama terlaksana dengan baik di Indonesia.   Ketika Perdana Menteri Amir Syarifoeddin pindah agama, dari Islam ke Kristen, mediapun tak mempersoalkan hal tersebut. Bahkan ketika Amir Syarifoeddin dieksekusi, dia memegang erat di dadanya Kitab Injil.

Saya lantas merenung, betapa panasnya berita sekarang,  ketika Injil diterjemahkan dalam bahasa Minang. Untungnya Menteri Agama bereaksi enteng, dengan menyebut bahwa terjemahan itu adalah hal yang biasa. Bahkan Injil telah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa.

Bagi saya perjuangan dan kemerdekaan Indonesia bukan monopoli satu  golongan, suku atau agama. Itu sebabnya the Founding fathers, pimpinan Presiden pertama Republik Indonesia Bapak Ir. Soekarno reaksi pertama beliau terhadap  kalimat Pertama Pancasila yang tadinya berbunyi “Ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya diganti dengan hanya kalimat “ KeTuhanan Yang Maha Esa.”  Bukti bahwa pelopor, Pendiri Bangsa tidak menghendaki Indonesia sebagai negara Agama. Indonesia   bukan negara Agama.
Mungkin banyak yang juga tidak mengetahui bahwa sayembara gambar bangunan Mesjid Agung Istiqlal dimenangkan oleh arsitek beragama Kristen seorang anak pendeta, saudara Poltak Silaban. Mesjid dirancang  dengan filosofi dasar:  “Simbol Toleransi keberagaman”. Sampai ahkir hayatnya arsitek Silaban aktif mengikuti Pembangunan Mesjid yang proses pembangunannya memakan waktu 17 tahun.

Ketika Presiden Soekarno  mengumumkan sang Pemenang yang adalah seorang Kristen, Pemuka Agama Islam saudara Buya Hamka, memeluk Poltak Silaban, sebagai tanda pemberian selamat. Bahkan juara tiga perancang gambar Mesjid Istigal, juga seorang kristen Belanda bernama Han Grunewegen.

Ketika setiap tahun,  di momen-momen bersejarah,  bangsa Indonesia menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, nama Wage Rudolf Supratman, seorang Penganut agama Katolik, pasti bukan saja penciptanya yang  menjadi bagian dari sejarah Indonesia,  tetapi setiap warga negara Indonesia yang peduli sejarah yang menyanyikan lagu tersebut pasti mengenal siapa Wage Rudolf Supratman.

Masih banyak pejuang pejuang kemerdekaan yang bukan Islam punya modal dalam perjuangan kemerdekaan, tanpa mereka di cap kafir pada waktu. Itu. Mengapa saya sengaja mengutip sejarah, siapa-siapa saja  yang turut mengambil bagian dalam Pembangunan Indonesia. Agar kita sadar bahwa kemerdekaan Indonesia bukan monopoli satu golongan saja.

Kebebasan Berpendapat di era reformasi, menyebabkan golongan golongan  anarkis tertentu melalui kebebasan berpendapat, memgprovokasi kelompok tertentu menyebabkan terjadinya  sekat-sekat dan garis pemisah antara sesama warga negara.

Sebutan kafir adalah kata provokasi yang membahayakan, sekalipun itu “katanya” dilindungi dibawah bendera “Kebebasan Menyatakan Pendapat.”  Saya sendiri menyaksikan  diwaktu pemilihan Gubernur DKI. Salah satu slogan yang saya saksikan di sudut-sudut jalan   DKI adalah  Jangan memilih kafir.

Tentu ini merupakan kampanye terang terangan untuk tidak memilih AHOK yang oleh mereka dicap kafir. Di era Presiden Soeharto kelompok kelompok ektremis pasti dilarang bahkan menjadi target penghukuman dibawah undang undang subversif.

Dalam buku saya berjudul  “Terorisme Tragedi Umat Manusia”  dihalaman 6 saya sempat mengutip kata kata   pernyataan perang  Osama bin Laden yang berbunyi sebagai berikut: “ We – with God Help --  call on every moslems who believes  in God and wishes to be rewarded to comply with God’s order to kill the Americans and plunder their money wherever and   whenever they find it.”.

Bayangkan apa benar Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil membenarkan  Agar  Pengikut  Osama bin Laden membunuh dan menjarah  kekayaan orang Amerika? Bahkan dibawah bendera kebebasan berpendapat golongan extremist Amerika  membuat provokasi untuk “ Kill the Infidel” Bunuh  si KafIr. Setelah peristiwa  hancurnya Twin  Tower yang dikenal sebagai peristiwa Black September 2001, Amerika mulai membatasi kebebasan berpendapat yang sifatnya provokatif dan indoktrinatif.

Di era Pemerintahan Presiden Soeharto, saya pernah  membela Pendiri gerakan  Negara Islam Indonesia  saudara Adah Djaelani. Setiap usaha separatisme oleh golongan  yang mempunyai ideologie berbeda dengan Pancasila, tidak dibiarkan bertumbuih kembang oleh Presdien Soeharo melalui Undang undang Subversif.

Adalah Presiden Gus Dur (Abdul Rahman Wahid) yang mempraktekkan sikap toleransi beragama. Persahabatan antar iman yang dilakukan oleh Gus Dur dengan Romo Mangun,  Para Pastor, Pendeta, Pemuka kepercayaan Confusius bukti nyata praktek toleransi Presiden Gus Dur.

Bahkan di era Pemerintahan Presiden Soekarno  keakraban pendiri  Masyumi,  Bapak Mohammad Natsir dengan Tokoh Partai Katolik Ignatius Jonathan Kasimo adalah contoh praktek toleransi. Mohammad Natsir di hari Natal selalu berkunjung ke rumah Kasimo mengucapkan selamat hari Natal.

Saya heran mengapa sekarang orang orang tertentu yang menamakan dirinya tokoh agama melarang Islam mengucapkan selamat hari Natal, satu hal yang pasti tidak akan terjadi di Sulawesi Utara?.

Ketika saya harus membuat makalah mengenai toleransi, saya mengutip toleransi beragama di Singapura. Pemerintahan Singapura mengawasi secara ketat hidup kerukunan beragama . Kotbah kotbah provokatif  yang menyerang agama lain pasti dapat dijaring melalui hukum Security act nya Singapura.

Saya hidup disatu keluarga berlainan agama, nenek, ibu dari ibu saya beragama Islam, menikah dengan opa saya jaksa Mangindaan di zaman kolonial, seorang pemeluk agama Protestan. Ibu Bapak saya dan saya beragama Katolik. Semuanya taat melaksanakan kewajiban agamanya masing masing.

Bahkan saya yang beragama Katolik, sebagai cucu kesayangan nenek saya, ketika harus ke gereja di hari Minggu, saya mendapatkan uang kolekte dari nenek saya, untuk diberikan kepada gereja.  Agar saya sebagai cucu kesayangannya taat menjalankan agama saya,  nenek saya yang rajin membaca Quran memberi dua ayat kepada saya, yang sampai hari ini tidak pernah saya lupakan. Dua ayat Quran itu adalah  surat ke 43 ayat 61 dan 63. Bunyi ayat tersebut.:  Ayat 61.: “ Dan sesungguhnya dia (Isa) adalah suatu tanda bagi kiamat, maka janganlah kamu ragu ragu tentang kiamat itu, dan ikutilah Aku, inilah jalan yang lurus.” Selanjutnya ayat 63 “:…Maka taqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku (Isa)”. Kata nenek,

Pasti di hari kiamat, Isa datang  dari surga, bukan dari neraka. Nenek berkata melalui ayat-ayat itu nenek mengerti, mengapa orang kristen tidak mendoakan Yesus agar masuk surga, karena memang benar Yesus sekarang berada di Surga.  Walaupun nenek saya tetap taat beragama  Islam, diapun mengharapkan supaya saya masuk surga melalui jalan yang lurus itu.

Nenek saya hebat. Mengerti arti toleransi walaupun pendidikannya hanya tamat sekolah SD, kampung.   90 persen assisten Pengacara saya dikantor beragama Islam. Semuanya saya sekolahkan untuk tingkat magister hukum,  LLM, dan Doktor Hukum,  baik didalam maupun diluar negeri seperti misalnya di Havard, Berkeley, New York University, di Inggris,  Belanda, Australia, atas biaya saya sendiri tanpa memperhatikan agama yang mereka anut.. Sikap toleransi seharusnya  bermula  dari kita sendiri. Mau tidak kita menghormati dan menghargai keyakinan beragama orang lain. Hilangkan slogan slogan  Kafir atau Murtadin.

Tidak dapat disangkal bahwa sekarang terdapat golongan ektremis yang mulai membangun sekat-sekat bangsa, dengan menamakan mereka yang bukan Islam sebagai kelompok Kafir. Bahkan pidato pidato Habib Rizieq di Arab sengaja menyerukan kelompoknya untuk melengserkan Presiden Jokowi. HTI dan FPI tetap secara fanatik memperjuangkan adanya Negara Agama.

Kalau Presiden membiarkan tumbuhnya golongan golongan ini, bukan mustahil, suatu ketika gerakan makar ala PKI akan kembali terjadi. Kalau seandainya Pemerintahan melakukan pembiaran, saya yakin bahwa sebentar lagi Bhineka Tinggal Ika, Kesatuan dalam perbedaan, Perbedaan dalam kesatuan hancur berkeping keping.  Semoga renungan saya ini satu saat dapat menjadi perhatian Bapak Presiden Joko Widodo dan Bapak wakil Presiden  Ma’ruf Amin. Salam dari Lapas Sukamiskin.
×
Berita Terbaru Update