Notification

×

Iklan

Iklan

ARISTOTELES: DEMOKRASI DAN OLIGARKI, HINGGA MELONTARKAN KRITIKAN PENUH CARUT MARUT

Selasa, 15 September 2020 | 14:43 WIB Last Updated 2020-09-15T07:38:07Z


Oleh : Albert P Nalang

MANADO KOMENTAR -  Filsafat politik dapat dipahami sebagai timbulnya pembahasan-pembahasan tentang perbaikan suatu rezim ataupun analisa tentang defenisi pemerintahan yang sudah ada. Oleh karena itu, filsafat politik berkecimpung dalam dua tugas utama.

Pertama, ia mengkaji evaluasi kritis dari keyakinan politik, memperhatikan bentuk induktif dan deduktif penalaran. Kedua, ia mencoba menjelaskan dan menyaring konsep-konsep yang digunakan di dalam wacana politik.

Maka dari itu Aristoteles percaya bahwa pemerintahan yang baik lahir dari orang-orang yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan. Jika hak untuk memerintah adalah kebajikan, negara (pemerintahan) terbaik dari pandangan ideal adalah negara yang diperintah oleh orang- orang yang bijak.

Baginya, filsafat politik mampu menemukan negara (pemerintahan) yang paling bisa dipraktikkan, negara yang mungkin diharapkan untuk berjalan secara baik dalam lingkungan historis. Penegasan ini timbul karena Aristoteles mengingkari akan kemungkinan pemerintahan yang bersifat universal.

Gagasan yang kontradiktif mengenai bentuk pemerintahan oleh Aristoteles dapat dipelajari tentang bagaimana dia menjelaskan demokrasi sebagai bentuk tidak sempurna dari polity (pemerintahan/konstitusional). Kendati begitu, pada bagian tertentu Aristoteles justru mendukung bentuk pemerintahan demokrasi.

Secara umum diyakini terdapat dua bentuk utama pemerintahan, seperti yang dikatakan orang tentang mata angin bahwa hanya ada dua arah, yaitu utara dan selatan, sisanya hanyalah variasi dari kedua arah tersebut. Dengan demikian, pemerintahan juga hanya ada dua bentuk, yaitu demokrasi dan oligarki.

Aristokrasi dianggap sebagai salah satu jenis dari oligarki, sebagai aturan dari kelompok minoritas, sedangkan yang disebut pemerintahan konstitusional sesungguhnya demokrasi.(Aristoteles. La Politica (Politik). Visimedia.

Maksud Aristoteles mengenai pemerintahan konstitusional merupakan pemerintahan yang terbatas serta tidak absolut, pemerintahan yang patuh pada hukum. Aturan hukum merupakan alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas keinginan yang benar.

Manusia adalah mahluk yang sarat dengan godaan dan nafsu. Berdasarkan kelemahan ini, dia menilai bahwa memberikan kekuasaan tak terbatas pada penguasa adalah benar-benar berbahaya. Karena pada manusia nafsu sering kali mendominasi rasionalitas, maka aturan hukum bisa tiba- tiba arbitrer dan egois, menggantikan sikap yang rasional dan mensejahterakan semua.

Hukum di sini maksudnya tidak hanya mengacu kepada tatanan hukum pemerintah saja, termasuk juga hukum adat dan hukum alamiah. Untuk itu dapat dipahami bahwa hukum adalah (akal) intelektual tanpa nafsu.

Dalam kata lain, demokrasi bukanlah sesuatu yang ideal melainkan hanya bentuk yang paling bisa berjalan. Dia memberikan sedikit dukungan pada proposisi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan watak manusia baik dari sudut pandang teoritik maupun praktik.

Dari pandangan itu dapat disimpulkan, mengapa Aristoteles selalu menekankan kepada pemerintahan yang berdasarkan kepada kebaikan seperti yang kita temui pada awal bukunya La Politica. Begitu pula dengan premisnya agar mempertimbangkan tidak hanya pada bentuk pemerintahan, tapi yang perlu menjadi acuan adalah berjalannya suatu roda pemerintahan.

Untuk ini, Aristoteles memberi alternatif kemungkinan termudah yang dapat dicapai oleh suatu pemerintahan selama itu berdasarkan kepada kebaikan. Negara (pemerintahan) sepenuhnya moral bukan fisik. Kesatuan negara terletak pada suatu komunitas pikiran, kehendak dan tujuan pada bagian anggota indiviu-individu.

Kebaikan umum yang sama dipahami oleh individu-individu yang berlainan dan diupayakan oleh usaha-usaha bersama diantara mereka. Bagian-bagian tak terpisahkan dari negara yang baik disatukan dan dijadikan ke dalam suatu komunitas melalui pendidikan, bukan dengan pembebanan pola konformitas yang kaku.

Artinya kita perlu mempersiapkan orang-orang dengan cara berpikir metodologis. Berpikir metodologi maksudnya apa-apa yang menjadi watak politik untuk mengaktifkan nalar kritis dan tujuan kebaikan bersama. Bukan orang-orang yang melontarkan kritikan penuh carut marut.
×
Berita Terbaru Update