KOMENTAR.CO.ID MANADO - Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut DR. Ferry Liando MS.i menilai sistim pemilu di Indonesia tidak terlepas dari dari fungsi rekrutmen dalam sistim politik, dimana rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berlaku.
Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Maka tak heran banyak politisi “dadakan” yang muncul seperti artis maupun orang-orang yang dianggap popluler menjadi incaran partai politik.
“Yang berlaku saat ini adalah sistim proporsional terbuka, dimana Partai Politik (Parpol) hanya memfasilitasi melalui mekanisme pendaftaran calon ke parpol, kemudian Parpol akan mengeluarkan nama-nama calon untuk dipilih oleh masyarakat. Namun sistim ini ada kelemahan sebab memiliki konsekwensi dimana calon-calon yang disodorkan Parpol kepada publik tidak bisa menjamin kualitas bahkan cenderung dikuasai oleh kelompok tertentu. “ujarnya saat diskusi bersama denga para jurnalis yang tergabung dalam Forum Wartawan DPRD (FORWARD) Sulut Jumat, (4/3-2017).
Dirinya mencontohkan, legislator DPRD Kota Manado saat ini saat ini cenderung dikuasai kelompok pengusaha. Begitupun di DPRD Sulut yang cenderung dikuasai politik kekerabatan.
“DPRD Sulut kita ketahui bersama disana ada legislator yang notabene seperti kerabat atau istri/suami Bupati, kerabat Gubernur maupun anak mantan Gubernur atau ada orangtuanya Bupati dan lain sebagainya. Produk-produk tersebut merupakan konsekwensi dari sistim politik proporsional terbuka yang saat ini dilakukan di negara kita. “ jelas Liando.
Disisi lain ada hal yang justru menurutnya rancu dalam pelaksanaan sistim Proporsional terbuka, dimana fenomena yang terjadi adalah kompetisi yang ada bukan antar parpol namun kompetisi antar sesama internal parpol itu sendiri.
“ Pada saat pileg waktu lalu, kita melihat justru sesama parpol saling menjatuhkan satu sama lainnya. Jadi sepertinya menjadikan sistim politik liberalisasi yang lebih bebas. Namun disatu sisi saya melihat ada nilai positif dengan sistim ini dimana masyarakat yang menentukan pilihannya sendiri artinya kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh legislatif yang kita pilih .” tandasnya.
Dirinya menilai dampak negatif dari sistim tersebut adalah perilaku atau karakter pemilih cenderung bersifat pragmatis karena mereka memilih berdasarkan faktor premodial dan faktor etnisitas, bahkan juga faktor iming-iming atau hadiah yang diberikan dan dijanjikan para calon. Hal-hal demikian menurutnya justru tidak memberikan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat.
Sementara Pemerintah saat ini telah menyodorkan draft baru Undang-Undang Politik yakni sistim terbuka terbatas yang hampir sama dengan mekanisme yang diterapkan saat ini, dimana dalam kertas suara nanti hanya berisi gambar atau lambang Partai Politik diserti daftar calon anggota legislatif (caleg).
Namun yang membedakan dalam sistim tersebut masyarakat hanya mencoblos gambar/logo Partai tetapi yang menentukan siapa yang bisa duduk, bukan berdasarkan suara terbanyak tapi justru ditentukan oleh partai politik.
Liando menilai sistim tersebut terkesan hanya ganti nama namun substansinya tetap sama. Sebab apaun model yang diterapkan, kedua sistim tersebut sama-sama memiliki resiko.
“ Ini menjadi dilema apakan sistim terbuka atau pun sistim terbuka tertutup yang akan digunakan, keduanya memiliki resiko yang berbeda. Namun yang menjadi persoalan bagi kita sebagai pemilih bukan pada kedua sistim tersebut , namun persoalannya ada pada partai politik dan pemilih, " terangnya.
" Masyarakat menjadi pragmatis justru disebabkan oleh Parpol itu sendiri. Sebab kalau partai politik sudah memberlakukan sistim yang baik dan profesional , sistim apapun yang dilakukan tidak ada masalah.” jelasnya.
Dia mencontohkan sistim rekrutmen atau pola kaderisasi yang masih setengah hati, serampangan dan miskin konsep, seolah menjadi identitas yang tepat bagi keseriusan pembangunan suber daya manausia dalam sebuah partai. Padahal setiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan untuk seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD melalui APBN dan APBD.
“Sebetulnya seorang politisi tidak harus memperkenalkan dirinya melalui iklan dan lain sebagainya, tetapi elektabilitas maupun popularitas seorang politisi ditentukan pada dedikasinya selama ini. Kalau dedikasinya bagus, maka dengan sendirinya secara sinergis, dirinya akan dikenal . Hal inilah yang sangat jarang terjadi dalam pembentukan karakter seorang politisi untuk menjadi anggota DPR/DPRD.” pungkasnya. (stem)