Notification

×

Iklan

Iklan

FERRY LIANDO : PARPOL PENYEBAB MASYARAKAT JADI PRAGMATIS

Senin, 06 Maret 2017 | 01:51 WIB Last Updated 2017-03-05T18:13:10Z

KOMENTAR.CO.ID MANADO -  Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut  DR. Ferry Liando MS.i  menilai  sistim pemilu di Indonesia  tidak terlepas dari  dari fungsi rekrutmen dalam sistim politik,  dimana rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berlaku.  

Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.  Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Maka tak heran banyak politisi “dadakan”  yang muncul seperti artis maupun orang-orang yang dianggap popluler menjadi incaran partai politik.

 “Yang berlaku saat ini  adalah sistim proporsional terbuka,  dimana Partai Politik (Parpol) hanya memfasilitasi melalui mekanisme pendaftaran calon ke parpol,  kemudian Parpol akan mengeluarkan nama-nama calon untuk dipilih oleh masyarakat. Namun sistim ini ada  kelemahan sebab memiliki konsekwensi dimana calon-calon yang disodorkan Parpol kepada publik tidak bisa menjamin kualitas bahkan cenderung dikuasai oleh kelompok tertentu.  “ujarnya saat diskusi bersama denga para jurnalis yang tergabung dalam  Forum Wartawan DPRD (FORWARD) Sulut  Jumat, (4/3-2017).

Dirinya mencontohkan,  legislator  DPRD Kota Manado saat ini saat ini cenderung dikuasai kelompok pengusaha.  Begitupun di DPRD Sulut yang cenderung dikuasai politik kekerabatan.

“DPRD Sulut kita ketahui bersama disana ada legislator yang notabene seperti kerabat atau istri/suami Bupati, kerabat Gubernur maupun anak mantan Gubernur atau ada orangtuanya Bupati dan lain sebagainya. Produk-produk tersebut merupakan konsekwensi dari sistim politik proporsional terbuka yang saat ini dilakukan di negara kita. “ jelas Liando.

Disisi lain  ada hal yang justru  menurutnya rancu dalam pelaksanaan sistim Proporsional terbuka, dimana fenomena yang terjadi adalah kompetisi yang ada  bukan antar parpol namun kompetisi antar sesama internal parpol itu sendiri. 

“ Pada saat pileg waktu lalu, kita melihat justru sesama parpol saling menjatuhkan satu sama lainnya. Jadi sepertinya menjadikan sistim politik liberalisasi yang  lebih bebas. Namun disatu sisi saya melihat ada nilai positif dengan sistim ini dimana masyarakat yang menentukan pilihannya sendiri artinya kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh legislatif yang kita pilih .” tandasnya.

Dirinya menilai dampak negatif dari sistim tersebut adalah perilaku atau karakter pemilih cenderung bersifat pragmatis karena mereka memilih berdasarkan  faktor premodial dan faktor etnisitas, bahkan juga faktor iming-iming atau hadiah yang diberikan dan dijanjikan para calon. Hal-hal demikian menurutnya justru  tidak memberikan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat. 

Sementara Pemerintah  saat ini  telah menyodorkan draft baru Undang-Undang Politik yakni sistim terbuka  terbatas yang  hampir sama dengan mekanisme yang diterapkan saat ini, dimana dalam   kertas suara  nanti hanya berisi gambar atau lambang   Partai Politik diserti  daftar calon anggota legislatif (caleg).

Namun yang membedakan  dalam sistim  tersebut  masyarakat hanya mencoblos gambar/logo  Partai tetapi yang menentukan siapa yang bisa duduk,  bukan berdasarkan suara terbanyak tapi justru ditentukan oleh partai politik.

Liando menilai sistim tersebut terkesan hanya ganti nama namun substansinya tetap sama. Sebab apaun model yang diterapkan,  kedua sistim  tersebut sama-sama  memiliki resiko.

“ Ini menjadi dilema apakan sistim terbuka atau pun sistim terbuka tertutup yang akan digunakan, keduanya memiliki resiko yang berbeda. Namun yang menjadi persoalan bagi kita sebagai pemilih bukan pada kedua sistim tersebut , namun persoalannya ada pada partai politik dan pemilih, " terangnya.  

" Masyarakat menjadi pragmatis justru disebabkan oleh Parpol itu sendiri. Sebab kalau partai politik sudah memberlakukan  sistim yang baik  dan profesional , sistim apapun yang dilakukan  tidak ada masalah.” jelasnya. 

Dia mencontohkan  sistim rekrutmen  atau pola kaderisasi yang masih setengah hati, serampangan dan miskin konsep,  seolah menjadi identitas  yang tepat bagi keseriusan pembangunan suber daya manausia dalam sebuah partai. Padahal setiap tahun  pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan untuk seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD melalui APBN dan APBD.  

“Sebetulnya seorang politisi  tidak harus memperkenalkan dirinya melalui iklan dan lain sebagainya, tetapi elektabilitas maupun popularitas seorang politisi ditentukan pada  dedikasinya selama ini. Kalau dedikasinya bagus, maka dengan sendirinya secara sinergis, dirinya akan dikenal . Hal inilah yang sangat jarang terjadi dalam pembentukan karakter seorang politisi untuk menjadi anggota DPR/DPRD.” pungkasnya. (stem)
×
Berita Terbaru Update